Sabtu, 06 September 2014

Kategorisasi

Minggu pagi. Ibu bilang hari ini saya boleh bangun siang, tapi Ibu terus saja saya diajak bicara dari pagi. Akhirnya saya bangun setengah siang. Cukup siang untuk disebut pagi dan belum terlaĺu siang untuk memulai aktivitas.
Saya duduk di ruang tamu. Agak malas beraktivitas di kamar. Membawa buku, white coffee, selondok dan Rich**se Nabati. Semalam, sambil nonton Mahabharata dan sehabis menjawab pertanyaan tentang kapan merit, saya juga mengkonsumsi snack macam wafer berbungkus kuning ini. Rasanya enak. Saya suka. Tidak terlalu manis dan kejunya berasa. Ini bukan iklan. Hanya reportase.
Mendadak, penjual sayur langganan masuk ke rumah. Saya segera mengusung barang-barang saya ke meja lain sambil mempersilahkannya duduk. Ibu itu berkomentar kalau makanan saya seperti anak-anak. Saya hanya berkilah kalau saya menyukai makanan ini. Tidak saya bilang kalau rasanya pas buat lidah saya dan cocok untuk teman galau. Juga tidak saya katakan, saya hanya menghabiskan sisa cemilan Lebaran. Bukan sengaja membelinya juga.
Saya jadi ingat Celoteh Soleh Solihun yang berjudul If It's Too Loud Then You're Too Old. #Oh iya, saya pengin nulis ringkasan singkat buku ini kapan-kapan#. Katanya pertanda seseorang sudah tua, salah satunya adalah dengan mendengarkan musik rock. Kalau saat mendengarnya Anda merasa kebisingan, artinya Anda sudah menua. Saya bisa memahaminya. Hanya saja, berarti saya sudah tua dari lahir ya. Sebab dari yang bisa saya ingat, saya tidak pernah suka musik live pada acara Tujuh Belasan karena membikin jantung saya berdebar tiap mendengar sound system yang berdentum-dentum itu. Saya selalu lebih suka musik oldiest yang kalem. Padahal saya orang yang rame.
Back to my living room, sambil menulis tulisan ini, saya terus saja penasaran, bagaimana sebuah makanan dihubungkan dengan usia. Walaupun memang dalam acara chef-chef di tivi yang belakangan marak itu, saya banyak mendengar "buatkan makanan untuk anak-anak." Dimana artinya tentu ada makanan untuk anak-anak. Ya, itu pasti. Apalagi kalau mereka belum punya gigi. Ada kadar nutrisi dan lain-lain yang dijadikan pertimbangan. Tapi penggemar Rech**se mestinya sudah punya gigi, atau sudah pernah punya gigi. Jadi dalam level nutrisi mestinya sama. Lalu kenapa mesti dikatakan kalau ini makanan anak-anak sedangkan saya yang masa kecilnya sudah lama lewat juga menyukainya. Apa nanti saya akan dikategorikan masih belum bisa move on dari masa kecil? Bahwa saya deep down still a baby? Ah, tidak juga. Beneran, tidak betul itu. Walau tidak bijak, tapi saya yakin saya juga tidak demikian.
Saya jadi ingat pada masa kelas 1 SMA. Waktu itu depan rumah masih sawah menghampar. Belum ladang tebu. Saya, bersama teman-teman, kebanyakan laki-laki, suka bermain layang-layang . Duduk di samping kolam, di bawah rimbunan daun pisang, atau berlari mengejar angin, sambil memainkan layang-layang. Melihat layang-layang yang bermain dengan tegar melawan angin dan bergerak seirama dengan tarikan benang di tangan saya, seperti melihat pendekar Kung Fu dengan sangarnya. Saya jadi ikut merasa keren. Kalaupun tidak demikian, duduk di tempat yang berangin di tengah sawah sambil main layang-layang kelihatan lebih normal daripada sekedar duduk bengong. Bau padi itu teman, bau kehidupan. Ada aroma segar alam dan bau kecut orang-orang yang mencoba bertahan hidup.
Seorang tetangga yang lewat mendadak berseloroh, "Anak perempuan kok main layang-layang?" Nah lho. Apa korelasi layang-layang dengan gender coba. Saya hanya melongo. Tidak menjawab. Tidak protes juga. Hanya penasaran tidak berkesudahan sampai sekarang.
Kadang, saya pikir, orang-orang terlalu naif mengkategorikan sesuatu. Walaupun saya bisa memahami bagaimana pola pikir tersebut muncul, tapi tetap sulit untuk menerimanya mentah-mentah. Orang cenderung sesukanya mengkaitkan suatu fenomena dengan hal lain yang mungkin tidak saling terhubung. Mainan laki-laki, mainan perempuan. Makanan anak-anak, makanan orang tua. Makanan orang ndeso, makanan orang modern. Walaupun memang persepsi berkorelasi juga dengan memori dan cerminan diri, tapi tidakkah terlalu kejam untuk semata menjadikannya referensi, tanpa melihat gambaran besarnya?
Ah, sudahlah. Kalau saya berkeluh kesah terlalu lama, akan dikira juga saya ini anak kecil yang sedang merajuk.

Jumat, 16 Mei 2014

Berani Membuat Keputusan yang Tepat dan Cepat

Secara bersinergi (barengan maksudnya) saya liat Kick Andy dan nonton Drama Korea berjudul Jang Ok Jung Living Jn Love. Agak susah juga membagi perhatian dan minat. Toh, saya lumayan berhasil mengambil sedikit-sedikit dari keduanya.
Walaupun berbeda, kedua tayangan ini punya kemiripan. Yaitu keputusan yanbgbenar. Mereka yang diwawancarai Andy F Noya secara cepat dan tepat memutuskan untuk memulai bisnis mereka. Termasuk jenis bisnis dan cara pemasarannya. Sedangkan Jang Ok Jung memutuskan dengan segenap hati, bahwa dia akan melakukan segalanya agar bisa berada di dekat pria yang dia cintai. Segalanya itu termasuk memperoleh kekuasaan dan mempergunakannya untuk bertahan. Dalam film lain saya pernah membaca kalau Jang Ok Jung ini adalah tokoh oposisi. Yaitu si penjahat yang punya banyak rencana licik untuk merebut kekuasaan dari Permaisuri. Hingga pelayan itupun benar menjadi Permaisuri. Tapi dalam drama ini, Jang adalan sang korban. Dari menjadi orang yang dianiaya, Jang berubah menjadi wanita yang memiliki minat untuk menghancurkan mereka yang pernah menginjaknya dulu.
Jadi berfikir, sebenarnya abcd keadaan adalah fakta. Semua orang bisa mengalaminya. Tapi tidak semua menyikapinya dengan cara sama. Tidak jarang yang kabur dari keadaan. Atau memusuhi keadaan dan menyalahkan takdir. Hanya sedikit yang mampu membuat keputusan tepat, cepat dan berani untuk tidak menjadikan kondisi yang ada sebagai penghalang kemajuan. Atau bahkan menjadikannya sarana untuk maju.
Saya sendiri? Hehe... malu saya.... Baru bisa beropini doang. Masih terlalu suka membikin alasan ;P

Rabu, 14 Mei 2014

Pengin Nymph Volumer

Belakangan saya suka sekali buka Get It Beauty di www.youtube.com. Sukaaa liat rias-rias yang sederhana dan tidak terlalu rumit. Juga menghasilkan riasan yang alami. Kayak artis-artis Korea yang berasa tidak pakai make up itu.
Nontonnya sih tidak bahaya tapi akibat dari nonton itu yang bikin kantong berabe. Masalahnya saya terus kepingin beli make up ini itu.
Jadilah saya pergi ke Etude. Nyari Nymph Volumer. Agak kaget karena harganya Rp 478.000. Padahal sebelumnya saya search di web Etude Indonesia lagi ada promo, untuk pembelian sampai nominal tertentu, harganya cuma Rp 180.000. Saya putar badan. Dengan tester, saya sempat nyobain dikit di tangan.
Berulang kali saya liat tangan saya untuk bandingin yang pakai itu dan tidak pakai. Berharap saya bisa nyoba di muka pas mau dandan. Liat, panas atau tidak, cocok tidak dengan kulit sensitif saya. Berulang kali juga saya menyayangkan karena Etude tidak menyediakan sample yang bisa dibawa pulang. Kalau ada sample kan saya bisa pakai dalam jumlah sedikit dulu, nanti setelah saya pakai dan ternyata cocok kan tidak masalah juga beli semahal itu (masalah sih sebenarnya..coba lebih murah...hiks). Di The Body Shop kan saya gitu, coba dulu. Kalau cocok di kulit dan manfaatnya sebanding, baru beli. Jadi saat beli pun berasa lebih ikhlas dan mantap. Karena tahu benar yang diinginkan.

Selasa, 13 Mei 2014

Minum Obat Batuk

Dalam botol obat batuk terdapat peringatan: dapat menyebabkan kantuk. Ada juga anjuran untuk jangan minum sewaktu akan naik kendaraan sendiri. Biasanya saya menurut.
Akan tetapi, tidak jarang juga mekat.
Hanya, hari ini saya kapok juga. Masalahnya tadi pas naik motor saya merasa mengantuk luar biasa. Sempat juga hampir tidur di jalan. Sampai selama sedetik kehilangan kendali. Bener kaget sekali habis itu. Kapok juga. Jangan-jangan lagi deh... ihhh... berbahaya.

Senin, 12 Mei 2014

Tivi di Masa Lalu

Zaman masih kecil dulu, tiap hari minggu ada telenovela berjudul Little Missy. Kalau tidak salah, pacarnya Rudolfo. Rudolfo ini gemar menyamar sebagai pria bertopeng. Dia menolong budak-budak.
Padahal ayah Rudolfo, adalah tuan tanah yang punya banyak budak. Monzerat namanya. Eh sebentar, itu Little Missy atau Rosalia ya? Waduh, kok  kacau balau ingatannya.
Dua-duanya sama-sama hiburan yang kami tunggu tiap hari Minggu. Karena pemilik tivi masih sedikit, para tetangga banyak yang berkumpul di rumahku untuk menonton. Menonton rame-rame begitu lebih menyenangkan. Bisa sambil gosip ataupun berkomentar. Jadi sebenarnya dengan peningkatan sosial ekonomi, di sisi lain, mengurangi interaksi antar tetangga.
Hmmm...

Minggu, 11 Mei 2014

Midnight Thougths

Hampir tengah malam. Gerah dan sepi. Hanya ada suara katak bersautan. Sayup-sayup ada suara gamelan.
Aku masih berkutat dengan sebuah harapan.

Jumat, 09 Mei 2014

Mesin Cuci

Terpengaruh film asing, terdesak kebutuhan, dan terdorong oleh kemalasan, saya memutuskan untuk 'live easier'. Yaitu dengan membeli mesin cuci. Duit saya ternyata cuma cukup buat beli mesin cuci dua tabung.
Awalnya lumayan. Kecuali saat mesin cuci bergoyang hebat hingga error sewaktu dipake mengeringkan baju. Masalah muncul saat katup pemutar yang patah. Satu patah hingga tidak bisa dipakai, disusul yang lain. Akhirnya tinggal satu. Yang satu ini dipake bergilir, sistem lepas pakai, untuk ngatur timer, nyuci, dan ngeringin. Lama-lama patah juga. Patah ini di semua sisi, sampai diputer ke semua sisi sudah nggak bisa.
Sebelumnya, saya pernah telpon ke service center dan toko peralatan, mencari katup itu. Tapi tidak ada. Sudah tidak keluar seri ini. Katup yang ada, tidak ada yang cocok.
Akhirnya saya terpaksa memutar mesin cuci dengan tang. Tahu kan tang yang dipake di pertukangan. Saking seringnya, hingga bapak sudah tau, bahwa kalau butuh tang, nyarinya di tempat mesin cuci. Bukan di bak perkakas.
:((