Minggu pagi. Ibu bilang hari ini saya boleh bangun siang, tapi Ibu terus saja saya diajak bicara dari pagi. Akhirnya saya bangun setengah siang. Cukup siang untuk disebut pagi dan belum terlaĺu siang untuk memulai aktivitas.
Saya duduk di ruang tamu. Agak malas beraktivitas di kamar. Membawa buku, white coffee, selondok dan Rich**se Nabati. Semalam, sambil nonton Mahabharata dan sehabis menjawab pertanyaan tentang kapan merit, saya juga mengkonsumsi snack macam wafer berbungkus kuning ini. Rasanya enak. Saya suka. Tidak terlalu manis dan kejunya berasa. Ini bukan iklan. Hanya reportase.
Mendadak, penjual sayur langganan masuk ke rumah. Saya segera mengusung barang-barang saya ke meja lain sambil mempersilahkannya duduk. Ibu itu berkomentar kalau makanan saya seperti anak-anak. Saya hanya berkilah kalau saya menyukai makanan ini. Tidak saya bilang kalau rasanya pas buat lidah saya dan cocok untuk teman galau. Juga tidak saya katakan, saya hanya menghabiskan sisa cemilan Lebaran. Bukan sengaja membelinya juga.
Saya jadi ingat Celoteh Soleh Solihun yang berjudul If It's Too Loud Then You're Too Old. #Oh iya, saya pengin nulis ringkasan singkat buku ini kapan-kapan#. Katanya pertanda seseorang sudah tua, salah satunya adalah dengan mendengarkan musik rock. Kalau saat mendengarnya Anda merasa kebisingan, artinya Anda sudah menua. Saya bisa memahaminya. Hanya saja, berarti saya sudah tua dari lahir ya. Sebab dari yang bisa saya ingat, saya tidak pernah suka musik live pada acara Tujuh Belasan karena membikin jantung saya berdebar tiap mendengar sound system yang berdentum-dentum itu. Saya selalu lebih suka musik oldiest yang kalem. Padahal saya orang yang rame.
Back to my living room, sambil menulis tulisan ini, saya terus saja penasaran, bagaimana sebuah makanan dihubungkan dengan usia. Walaupun memang dalam acara chef-chef di tivi yang belakangan marak itu, saya banyak mendengar "buatkan makanan untuk anak-anak." Dimana artinya tentu ada makanan untuk anak-anak. Ya, itu pasti. Apalagi kalau mereka belum punya gigi. Ada kadar nutrisi dan lain-lain yang dijadikan pertimbangan. Tapi penggemar Rech**se mestinya sudah punya gigi, atau sudah pernah punya gigi. Jadi dalam level nutrisi mestinya sama. Lalu kenapa mesti dikatakan kalau ini makanan anak-anak sedangkan saya yang masa kecilnya sudah lama lewat juga menyukainya. Apa nanti saya akan dikategorikan masih belum bisa move on dari masa kecil? Bahwa saya deep down still a baby? Ah, tidak juga. Beneran, tidak betul itu. Walau tidak bijak, tapi saya yakin saya juga tidak demikian.
Saya jadi ingat pada masa kelas 1 SMA. Waktu itu depan rumah masih sawah menghampar. Belum ladang tebu. Saya, bersama teman-teman, kebanyakan laki-laki, suka bermain layang-layang . Duduk di samping kolam, di bawah rimbunan daun pisang, atau berlari mengejar angin, sambil memainkan layang-layang. Melihat layang-layang yang bermain dengan tegar melawan angin dan bergerak seirama dengan tarikan benang di tangan saya, seperti melihat pendekar Kung Fu dengan sangarnya. Saya jadi ikut merasa keren. Kalaupun tidak demikian, duduk di tempat yang berangin di tengah sawah sambil main layang-layang kelihatan lebih normal daripada sekedar duduk bengong. Bau padi itu teman, bau kehidupan. Ada aroma segar alam dan bau kecut orang-orang yang mencoba bertahan hidup.
Seorang tetangga yang lewat mendadak berseloroh, "Anak perempuan kok main layang-layang?" Nah lho. Apa korelasi layang-layang dengan gender coba. Saya hanya melongo. Tidak menjawab. Tidak protes juga. Hanya penasaran tidak berkesudahan sampai sekarang.
Kadang, saya pikir, orang-orang terlalu naif mengkategorikan sesuatu. Walaupun saya bisa memahami bagaimana pola pikir tersebut muncul, tapi tetap sulit untuk menerimanya mentah-mentah. Orang cenderung sesukanya mengkaitkan suatu fenomena dengan hal lain yang mungkin tidak saling terhubung. Mainan laki-laki, mainan perempuan. Makanan anak-anak, makanan orang tua. Makanan orang ndeso, makanan orang modern. Walaupun memang persepsi berkorelasi juga dengan memori dan cerminan diri, tapi tidakkah terlalu kejam untuk semata menjadikannya referensi, tanpa melihat gambaran besarnya?
Ah, sudahlah. Kalau saya berkeluh kesah terlalu lama, akan dikira juga saya ini anak kecil yang sedang merajuk.